(Kado Ulang Tahun Untuk Tentara Nasional Indonesia yang ke-62)
M. a h m a d i *)
Angkatan bersenjata republik indonesia
Tidak berguna, diganti saja....
Diganti menwa, ya sama saja...
Lebih baik diganti pramuka.......
** Naik bis kota ga pernah bayar
Apalagi makan diwarung tegal...
Suka gebukin anak orang
Tukang tembaki demonstran.......
Bait bait nyanyian diatas bak sebuah ungkapan kekesalan atas sebuah realitas sosial yang terjadi pada tubuh ABRI pada masa orde baru saat itu. Oknum memang tak tak lepas dari hal itu, namun oknum tadi yang terlalu banyak hingga akhirnya meng-institusi. Luapan kekesalan pada sebuah institusi alat negara yang justru berfungsi sebagai alat penguasa (orba) dibawah pemerintahan soeharto. Penganiayaan, penindasan, intimidasi, bahkan penyerangan adalah keharusan yang diterima bagi kelompok – kelompok yang berani bersuara pada penguasa. Tentara masuk dan menyerang kampus merupakan potret nyata kebiadapan militer. Militer tak ubahnya penguasa bayangan yang selalu siap membunuh, menculik, menganiaya siapa saja yang berteriak.
Reformasi total yang dimotori oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998 salah satunya mengamanahkan pencabutan dwi fungsi ABRI dengan tidak melibatkan ABRI pada ranah politik. Pemisahan POLRI dari TNI yang telah menjadi keputusan Pimpinan TNI sejak 1 April 1999 adalah tonggak reformasi awal ditubuh ABRI. TNI back to barracks adalah keniscayaan bagi TNI dengan pengertiannya back to barracks disini adalah kembali pada peran TNI sebagai Tentara Nasional Indonesia yang berperan sebagai alat negara dibidang pertahanan kedaulatan negara, bukan pertahanan kepentingan – kepentingan para elit negara. sebagaimana tertuang pada pokok – pokok amanat PANGTI TNI 1945; Undang – Undang Dasar negara adalah azas tentara, Undang Undang Dasar negara adalah politik negara; Tentara tidak mengenal suatu paham politik; Tentara hanya membela negara dan paham politik negara; Tentara tidak mengenal kompromi dalam membela negara; Tentara harus berjiwa berkobar-kobar, berkeyakinan sekeras baja, berideologi gemblengan. Disini, politik bagi TNI adalah politik negara, artinya partisipasai politik bagi TNI tidak boleh diterapkan pada tataran politik praktis, tetapi diwujudkan dalam pengabdian dan tanggung jawab berkontribusi konsrtuktif dalam pertahanan negara.
TNI sebagai ujung tombak bela negara tentu harus bisa berperan profesional dan proporsiaonal, sebagaimana tugas pokok bagi TNI: Pertama, mendukung dan mengamankan kepentingan nasional; Kedua, melindungi dan mempertahankan integritas wilayah nasional dari tindakan agresi pihak lawan; Ketiga, mencegah dan mengurangi dampak kerusakan wilayah sebagai akibat dari tindakan musuh; Keempat, memenuhi kewajiban- kewajiban Internasional. jika Jendral Sudirman pernah berkata bahwa “satu – satunya hak milik bangsa yang tetap utuh dan tidak berubah adalah TNI” hendaknya dapat diperankan secara maksimal dengan tidak terlibat atau tepecah oleh kepentingan – kepentingan kelompok dan sesaat. namun berlahan – lahan pemaknaan dari perkataan Panglima Besar tersebut membias, netralitas TNI secara institusi mulai diarahkan pada ranah politik praktis oleh petinggi TNI dan kelompok yang ingin memanfaatkan TNI, disisi lain individu – individu kecil di tubuh TNI dengan bahasa yang lazim “oknum” bermain di bagian pengamanan yang berbeda, yang tak ubahnya “anjing penjaga” untuk harta si “A”.
Yang tak kalah lebih menarik pada tubuh TNI adalah terciptanya stima politik berupa ruang yang begitu besar yang dimiliki oleh petinggi TNI dan purna TNI. Kepentingan politik kekuasaan dari partai – partai politik cenderung mengalokasikan ruang khusus bagi TNI, dengan orientasi eks TNI bahkan TNI aktif yang dianggap punya basic massa/berpengaruh dan mampu mambawa roda partai kearah yang makin berkuasa. Belum merasa puas dengan pemberian ruang tersebut, kini beberapa kalangan elit maupun petinggi TNI itu sendiri mulai membuka ruang untuk hak politik TNI yang salah satunya berhak memilih dan dipilih. Andaikata TNI diikutsertakan dalam pemilu dan menggunakan hak pilih TNI yang utuh, terkomando dan terorganisir dengan moncong senjata ditangan apa yang akan terjadi?, itu pun jika hanya ada satu komando bagaimana jika ada dua atau lebih tentu keutuhan TNI akan pecah dan terpolarisasi hingga yang terjadi adalah Jendral mana yang paling banyak prajuritnya.
Bagaimana dengan bidang bisnis TNI??
Menelusuri bidang bisnis TNI di Indonesia sama halnya dengan membongkar rumah TNI itu sendiri, secara nyata keberadaan institusi TNI Indonesia sejak awalnya tidak bisa lepas dari keberadaan bisnis TNI itu sendiri. Mengingat TNI pada masa grilirya memiliki kemampuan dan mengelola pendanaan sendiri dengan peran gandanya sebagai kekuatan TNI dan kekuatan politik. Meskipun kemudian diberlakukan sistem kebijakan penetapan anggaran TNI sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun disayangkan bisnis TNI tidak berhenti dengan sendirinya, dalih minimnya alokasi dana dari negara untuk TNI dijadikan legitimasi untuk praktek – praktek bisnis TNI tersebut.
Pada dasarnya bisnis TNI ada dalam berbagai bentuk, level, keterlibatan dan bidang adalah hal yang mudah ditemukan diberbagai tempat diindonesia dan diketahui umum. Persoalannya banyak yang menganggap bahwa hal itu adalah hal yangt biasa dan bisa ditolelir. Tidak banyak yang menilai secara kritis bahwa hal tersebut bertentangan dengan tugas dan fungsi utama TNI dan mengakibatkan hilangnya profesionalisme TNI. Sementata persoalan lain yang tidak pernah dipertanyakan adalah: Kalaupun ada alasan yang membenarkan prakltek bisnis TNI seperti minimnya budget APBN untuk oprasional dan kebutuhan dana untuk kesejahteraan prajurit, apakah bisnis – bisnis tersebut dilaksanakan secara fair??, akuntabel?? dan sesuai dengan alasan pembenaran bisnis TNI??.
Memang, masa transisi ditubuh TNI terus berevolusi, dimana kritikan terhadap TNI masih terus berlangsung, ditengah bangsa ini sedang berada euphoria kebebasan atau bahkan kebablasan. TNI masi mencari – cari bentuk pengabdian yang paling relevan sesuai dengan peran TNI berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor VII/MPR/2000 sebagai alat negara dalam fungsi pertahanan negara, disamping itu juga TNI harus menyadari bahwa bangsa ini pun tengah berevolusi untuk mencari bentuk tatanan Indonesia yang ideal demokratis dan modern. Dengan demikian TNI dalam evolusinya mampu lebih profesional dalam pelaksanaan perannya dengan selalu memperhatikan perubahan hal – hal sebagai berikut:
1. Diperlukannya redefenisi, reposisi dan reaktualisasi yang lebih kongkrit ditubuh TNI terkait peran, fungsi dan tugas TNI dimasa mendatang.
2. Segera meninggalkan pola – pola lama mempengaruhi dan menakut – nakuti dengan bahasa seragam dan senjata.
3. TNI tidak lagi terlibat dalam politik praktis dengan menjaga komitmen dan kosistensi sikap netralitas TNI pada pemilu.
4. TNI sebagai institusi alat negara haruslah kuat dan berdaya, dengan demikin menjalankan fungsi pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara TNI harus diletakan dan meletakan diri pada posisi yang ideal-normatif, keterlibatan TNI dalam mendirikan atau menjadi beking kegiatan bisnis untuk menyalah gunakan wewenang dan tugas pokonya harus dihapuskan agar TNI kuat secara institusional, bukan menjadi “penguasa bayangan” dengan menjadikan “negara dalam negara”.
5. Perlunya melakukan evaluasi terhadap strutur komando terotorial dan efektifitas penempatan aparat TNI di wilayah konflik dan perbatasan yang telah terkontaminasi dengan kepentingan – kepentingan bisnis.
6. Pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pola bisnis, motif bisnis dan keuntungan bisnis yang selama ini diperoleh TNI, hal ini penting untuk melihat level keterlibatan aktor – aktor yang korup yang berpotensi melakukan manipulasi, termasuk penyalah gunaan wewenang dan tugas pokonya.
7. Rekonsiliasi di internal TNI itu memang positif, tapi bukan berarti rekonsiliasi itu menghapus dosa – dosa petinggi TNI telah lalu, yang telah banyak melakukan pertumpahan darah anak bangsa dinegri ini, rekonsiliasi untuk perbaikan TNI dengan selalu menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran, bukan malah melakukan perlindungan pada “penjahat berpangkat” dengan dalih nama baik seragam.
Pasca reformasi 1998, yang dapat dianalogikan indonesia ibarat sebuah negara kepulauan yang ditempatkan diatas sebuah meja kerja, yang selama 32 tahun meja kerja itu mutlak dalam pengawasan sang mantan jendral yang biasa dikenal rezim Soeharto, namun tiba – tiba “musibah” (gempa) bagi Soeharto datang, mendadak semua bangunan rancangan mantan jendral diatas meja itu berantakan dan berjatuhan ketanah, properti dan semua aksesorisnya pun berantakan berjatuhan, celakanya adalah pasca gempa tersebut ternyata terlalu banyak mengundang perhatian orang – orang yang kemudian berebut untuk segera ambil peranan untuk menyusun dan membangun kembali bangunan yang bernama Indonesia, dengan mesing – masing “kepala” tampil dan berkata akulah “sang bima”.
Hal ini perlu diwaspadai bagi umat bangsa ini, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin, jika situasi ini tidak kunjung “baik”, maka bersiap – siaplah bangkitnya para serdadu untuk pengambil peranan dengan satu alasan untuk negara dan demi negara.
*) Mantan Presiden Mahasiswa BEM Unpar,
Ketua Bidang PPD HMI cabang Palangkaraya
iTheme Techno Blogger by Black Quanta. Theme & Icons by N.Design Studio. Distributed by eBlog Templates