Sahabat Walhi Nusantara

Selamat Datang di Blog Sahabat Walhi Nusantara
Google
 


Kuala Kapuas, 27 Oktober 2008

Kepada Yth.

Gubernur Kalimantan Tengah

Bapak Agustin Teras Narang, SH

Di Palangkaraya.
Perihal: Pemerintah Cukup Satu Kali Melakukan Kesalahan Besar,
Eks PLG Untuk Perkebunan Sawit, adalah Bencana ke 2 di Gambut


Dengan hormat,
Bapak Agustin Teras Narang SH, Gubernur Kalimantan Tengah yang kami hormati, awal tahun 1996, situasi mencekam dan porak poranda kawasan gambut yang di terjang proyek PLG 1 juta hektar, sudah berlalu 12 tahun silam. Proyek yang dinyatakan gagal oleh Pemerintah RI tahun 1998, belum lagi pulih dan masih meninggalkan dosa-dosa kemiskinan ditingkat rakyat eks PLG. Hampir lebih 82.000 ribu jiwa rakyat yang mayoritas masyarakat adat Dayak Ngaju, kehilangan harta bendanya, misalnya kebun rotan, beje, kebun karet, hutan adat, sungai, tatah, danau dan tatanan sosial yang berubah menimbulkan kejutan budaya serta korban ketidak adilan lainnya. Belum cukupkah kesengsaraan rakyat ini diberikan kepada rakyat eks PLG atas nama pembangunan untuk kesejahteraan rakyat ? Buktinya, hampir lebih ratusan ribu hektar kebun rotan musnah, puluhan ribu beje musnah, kebun purun, hutan adat, dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Bahkan, proyek ini meninggalkan bekas yang cukup mendalam kesengsaraan secara turun temurun.

Cerita diatas adalah fakta-fakta yang tidak dapat dibantah, fakta-fakta yang masih melekat di 82.000 jiwa penduduk di eks PLG Kalimantan Tengah. Untuk itu kami yang bertandatangan dibawah ini adalah Direktur Eksekutif Yayasan Petak Danum (YPD) Kalimantan Tengah dan Dewan Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (Dewan ARPAG) yang merupakan organisasi rakyat yang memiliki anggota sebanyak + 7.000 orang tergabung dalam kelompok petani karet, petani rotan, petani beje, dan lembaga ekonomi koperasi Hinje Simpei, menyampaikan salah satu hasil penilaian kami dari laporan-laporan masyarakat dan anggota ARPAG tentang situasi dan kondisi pembangunan di eks PLG 1 juta hektar di Kalimantan Tengah sebagai catatan penting dan protes kepada Bapak Agustin Teras Narang, SH sebagai Gubernur Kalimantan Tengah dalam perkembangan terakhir pengelolaan eks PLG di Kalimantan Tengah.

1. Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1 juta hektar yang di bangun oleh pemerintahan Soeharto tahun 1996, di wilayah Kalimantan Tengah, membawa dampak bencana lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan hukum adat masyarakat adat yang terkena dampak proyek. Kehancuran ini, belum lagi membawa dampak kepulihan masyarakat korban, walaupun terasa berat bagi masyarakat untuk melakukan pemulihan. Kegagalan PPLG yang di nyatakan oleh Pemerintah Pusat pada sekitar tahun 1998 telah menjadi sejarah baru bagi masyarakat adat dayak ngaju yang selama ini memperjuangkan hak-hak wilayah kelola adatnya.

2. Kami sangat menghargai usaha-usaha pemerintah untuk melakukan percepatan rehabilitasi kawasan eks PLG sebagaimana dituangkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES No 2 Tahun 2007) tentang percepatan rehabilitasi dan Revitalisasi Pengembangan Lahan Gambut (Eks PLG) di Kalimantan Tengah yang dikeluarkan statusnya tanggal 16 Maret 2007. Dalam Inpres Republik Indonesia, perlu diketahui oleh Bapak Agustin Teras Narang SH, bahwa, beberapa hal yang menjadi perhatian kami untuk mengingatkan kembali, bahwa: Kawasan-kawasan kelola masyarakat adat yang mayoritas suku Dayak Ngaju sebagai korban PLG 1 juta hektar, Pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan melalui surat siaran Pers Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 5 September 1998 --- kutipan: Lahan-lahan yang dianggap hak ulayat/adat masyarakat [misal 1 – 5 km dari kiri kanan Daerah Aliran Sungai/ DAS yang seyogyanya termasuk dalam tata ruang desa] dikembalikan kepada masyarakat dalam keadaan yang sudah di tata dan siap di olah masyarakat agar mereka dapat berkreasi dalam proses menuju pertanian yang lebih baik. Siaran Pers ini merupakan kelanjutan dari Pernyataan Resmi Menteri Pertanian RI atas nama Pemerintah Pusat kepada media masa bulan Agustus 1998, yang menyebutkan; bahwa, PPLG 1 juta hektar telah gagal dan tidak dilanjutkan, kemudian hal-hal yang menyangkut pemulihan dan perbaikan sumberdaya alam yang telah rusak akan di lakukan segera mungkin dengan membentuk tim terpadu akan diatur kemudian.......menjadi pegangan antar pihak pemerintah dan masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa paska PPLG 1 juta hektar.

3. Berdasarkan Keppres No. 80 tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Negara Percepatan Pembangunan KTI Selaku Ketua Harian Dewan Pengembangan KTI Nomor : SK/004/KH.DP-KTI/IX/2002 Tentang Tim Ad Hoc Penyelesaian Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dalam rangka pengembangan wilayah yang berkelanjutan, perlu dirumuskan pendekatan pembangunan di kawasan eks PLG yang disesuaikan dengan daya dukung dan karakteristik ekosistemnya, dengan titik berat pada upaya pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi di dalam kawasan yang tentunya tidak melanggar hak-hak adat masyarakat adat Dayak Ngaju.

4. Usaha penyusunan master plan pada eks PLG adalah salah satu upaya pemerintah untuk menata ulang kawasan ekk PLG agar dapat dikelola sacara baik oleh sebuah tim penataan ruang. Tetapi nampaknya master plan ini tidak menjawab harapan masyarakat lokal dayak Ngaju di PLG dan mengabaian hak-hak masyarakat adat dayak ngaju atas ruang kelola tradisional yang diakui secara aturan adat. Penyusunan master plan atas dukungan dari lembaga dana luar negeri tidak menempatkan hak-hak masyarakat adat Dayak Ngaju pada sumberdaya alam gambut, tetapi master plan akan menggusur hak-hak kelola masyarakat atas sumberdaya hak ulayat/adat, aset produksi berupa; kebun rotan, kebun karet, hutan adat, beje, sungai, danau, tatah dlsb, yang dikelola jauh sebelum Indonesia Merdeka.

Lebih dari itu, kondisi sekarang, Pemerintah Daerah justru telah menjalankan operasional kegiatan di tingkat lapangan dengan mengeluarkan ijin-ijin perkebunan sekala besar dan pertambangan di eks PLG. Ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah daerah dan pusat dalam memahami akan keselamatan rakyat. Yang anehnya, ketidakpahaman aparat pemerintah yang justru datang dari pejabat yang dulunya berasal dari masyarakat adat Dayak Ngaju. Secara tidak langsung, ini tindakan untuk menghapuskan tatanan sosial budaya lokal dan segala bentuk hak-haknya atas warga negara. Bahwa Keberadaan masyarakat Adat telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

5. Tanggal 29 Oktober 2008, nilai dollar mencapai + 11.000 rupiah, ini dampak dari bentuk krisis financial global. Tetapi respon krisis dilakukan pemerintah daerah dan pusat lebih membela para pengusaha-pengusaha. Diantaranya Pemerintahan SBY mengeluarkan suntikan dana sebesar 130 Trilyun dan melakukan utang baru terhadao bank dunia. Sementara pemerintah daerah Kalimantan Tengah dengan alasan krisis menetapkan eks PLG untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Padahal situasi ditingkat rakyat eks PLG yang sejak tahun 2000 melakukan kegiatan rehabilitasi lahan atas dukungan dari Yayasan Petak Danum, membuat sawah sederhana, menanam rotan, karet, jelutung, saat krisis ini menghadapi persoalan yang memerlukan dukungan kuat dari pemerintah. Misalnya, harga karet menurut dari harga 7.000 s/d 8.000 per kilogram saat ini harga menjadi 1.500 s/d 2.000 per kilogram, harga rotan dari 200.000 per kuintal turun menjadi 100.000 s/d 120.000 per kuintal. Kondisi harga ini pun para pembeli karet dan rotan tidak mau membeli dengan alasan tidak ada yang meminta komoditas ini untuk eskpor. Situasi ini sebenarnya harus mendapat perhatian pemerintah daerah untuk membantu dan meringankan beban para petani, bukan mengeluarkan ijin perusahaan yang akhirnya akan menggusur kebun karet, kebun rotan dengan alasan semua adalah tanah negara.

6. Perkembangan terakhir sampai hari ini 27 Oktober 2008, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat telah mengeluarkan ijin-ijin baru kepada 23 unit perusahaan perkebunan sekala besar kelapa sawit dengan luas total + 369.400 hektare (ha) dan sebanyak 13 ijin usaha pertambangan dengan total luasan +41.536 ha. Keluarnya ijin-ijin ini merupakan salah satu kegagalan pemerintah Daerah baik ditingkat provinsi dan Kabupaten (Pulang Pisau, Kapuas dan Barito Selatan) dalam menjamin keamanan hutan gambut dan masyarakat adat dayak ngaju di wilayah eks PLG. Pemerintah daerah justru lebih tunduk kepada para investor atau pemodal daripada melindungi rakyatnya yang telah memberikan mandat melalui pemilihan langsung Gubernur dan Bupati bahkan Pemilu. Ini merupakan citra buruk Pemerintahan SBJ – JK dan semua unsur jajarannya ke bawah (Gubernur dan Bupati) yang tidak mampu mempertegas keberpihakannya kepada rakyat yang memberikan kepercayaannya melalui pilkada. Tetapi lebih patuh dan tunduk kepada pemodal yang belum tentu mensejahterakan rakyat, bahkan sebaliknya menciptakan konflik, menciptakan bencana, menciptakan kemiskinan .

Sebelum, keputusan operasional perusahaan perkebunan dan pertambangan di eks PLG, sejak tahun 2005, Yayasan Petak Danum melaporkan, seluas 350.000 hektar dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit sekala besar yang telah dimiliki ijin prinsipnya oleh 19 perusahaan dari Bupati di 3 Kabupaten (Pulang Pisau, Kapuas dan Barito Selatan). Sampai pertengahan 2008 sudah beberapa perusahaan mulai melakukan penjajakan operasional investasi kelapa sawit. Seluas 55.000 hektar. Perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah beroperasi yaitu PT. Rejeki Alam Semesta (Desa Sei Ahas Kecamatan Mantangai), PT. Graha Inti Jaya (Mentangai), PT. Pajar Mas Plantation (Perbatasan Wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas), dan PT. Sepalar Yasa Kartika (Kecamatan Basarang), PT. Kapuas Maju Jaya (Kecamatan Pujon-Kapuas Tengah), PT. Globallindo Agung Lestari (Wilayah Transmigrasi Kecamatan kapuas Murung dan Kecamatan Mantangai - Mangkatip), PT. Duta Barito (Kecamatan Dusun Hilir) dan PT. Kalimantan Ria Sejahtera (Desa Timpah dan Pujon), PT. Karya Luhur Sejati Estate (Desa Bahaur). Kehadiran perusahaan ini sungguh meresahkan warga masyarakat adat Dayak Ngaju di berbagai tempat. Kebun, lahan, hutan, beje, dan lain sebagainya sudah di gusur perusahaan, tidak ada control dari pihak pemerintah daerah Kabupaten dan provinsi. Ataukah ini unsur kesengajaan yang dibuat para pembuat kebijakan dan para pengusaha sawit ?

Kenyataan diatas merupakan bukan hal baru bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, karena, sebelum Inpres No 2/2007 dikeluarkan bulan Maret 2007, sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah eks PLG dalam membangun perkebunan kelapa sawit skala besar, walaupun sempat terhenti. Ijin yang dikeluarkan sampai Agustus 2007, menurut laporan Yayasan Petak Danum sebanyak 19 unit usaha perkebunan kelapa sawit sekala besar yang tersebar di semua eks PLG, baik terdapat digambut dalam 3 – 20 meter, maupun di gambut sedang 1 – 3 meter. Pemberian ijin yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah secara serampangan tanpa melakukan peninjauan teknis tingkat lapang dan menegasikan hak-hak masyarakat adat, bertentangan dengan Keppres 32/1990 – tentang wilayah yang dilindungi termasuk wilayah gambut dalam, UU Tata Ruang 26/2007 tentang partisipasi masyarakat dalam penentuan wilayah ruang. Semua aturan ini tidak di indahkan oleh Pemerintah daerah dan malah melakukan pelanggaran yang serius. Bukan pada persoalan ini saja, kegagalan Bapak Gubernur untuk mengawal Inpres No 2/2007 dan mematuhi peraturan yang dibuatnya sendiri merupakan kunci dalam ancaman bencana PLG yang kedua melalui investasi kebun besar kelapa sawit. Pemerintah Daerah ditingkat lokal Kabupaten, telah melakukan perlawanan terhadap Gubenur dan Presiden, dan ini menujukan pemerintahan SBY-JK tidak memiliki wibawa begitu juga jajaran dibawahnya yang hanya tunduk di bawah para pengusaha.

7. Pemerintah cukup melakukan kesalahan hanya satu kali di PLG Kalimantan Tengah, walaupun kesalahan itu tidak pernah meminta maaf yang tulus kepada 82.000 rakyat korban PLG 1 juta hektar. Pengeluaran ijin sebanyak 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas + 369.400 hektar (ha) dan sebanyak 13 ijin usaha pertambangan dengan total luasan + 41.536 ha, merupakan pilihan buruk dari pemerintah daerah, dimana, dampak operasi perusahaan yang sangat serius. Berdasarkan laporan masyarakat di beberapa desa yang masuk ke YPD dan ARPAG diantaranya; Masyarakat Desa Kaladan vs PT Graha Inti Jaya, Masyarakat desa Sei jaya Vs PT Globalindo, Masyarakat Desa Sei Ahas vs PT RASR, Masyarakat Desa Mahajandau vs PT. Duta Barito, Masyarakat Desa Lamunti – Tarantang vs PT Graha Inti Jaya, Masyarakat Mantangai vs PT. Globallindo Agung Lestari, Masyarakat Basarang vs PT Sapalar Yasa Kartika. Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit sekala besar ini mengakibatkan masyarakat adat di Desa-Desa tersebut:

a)Kehilangan sumber mata pencahariannya sebagai bagian dari respon terhadap dampak krisis dan korban PLG.

b)Beberapa perusahaan telah mendapatkan ijin di wilayah gambut dalam (3 – 20 meter) yang merupakan wilayah kelola adat yang dilindungi, tetapi ini terus akan terancam dengan beroperasinya perusahaan.

c)Masyarakat secara turun temurun kehilangan tanah adat, hutan adat, kebun rotan, kebun karet, sungai, tatah, beje dan sumberdaya alam, hak masyarakat adat dayak Ngaju di gusur oleh operasi perusahaan.

d)Sudah terjadi konflik horizontal antar masyarakat yang setuju proyek sawit dan masyarakat yang mempertahankan hak-hak adatnya, Ini terjadi di desa Sei Ahas, Desa Pulau Kaladan, Sei Jaya, dan Mahajandau,

e)Ada upaya intimidasi dari aparat keamanan (Polisi dan TNI) baik oknum maupun institusi resmi kepada masyarakat adat yang mempertahankan hak-haknya, perusahaan didukung aparat birokrasi desa, tingkat Kabupaten melalui Dinas terkait dan legislative yang membela perusahaan kebun sawit.

f)Berkeliarannya para mafia tanah berkerja secara rapi dan terorganisir dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai Provinsi bahkan Nasional yang merupakan "kaki tangan" perusahaan kebun sawit di berbagai tempat dengan modus operandi GANTI RUGI atau SANTUNAN secara cara untuk mendapatkan tanah gratis, tanah murah dan untuk mendapatkan tandatangan masyarakat untuk pihak perbankan, disamping itu cara-cara ini sebagai bagian dari persoalan memperkeruh konflik antar warga masyarakat.

g)Munculnya kepentingan aparat Desa dan Kecamatan (yang lebih memihak perusahaan karena bagian dari sistem pemerintahan daerah) dalam mempertahankan wilayah teritotial desa dan kecamatan, sehingga muncul konflik-konflik tentang batas-batas desa yang satu dengan desa lainnya dengan alasan untuk saling mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Bapak Gubernur yang kami hormati,
Cerita diatas merupakan fakta dan kenyataan yang ditemui dari situasi kemerdekaan Bangsa ini yang belum berdaulat atas kekayaan sumber-sumber alam untuk benar-benar kesejahteraan rakyat yang dijamin konstitusi negara. Untuk itu, kami menuntut segera kepada Bapak Gubernur Kalimantan Tengah untuk melakukan:

1. Memulihkan hak-hak dasar masyarakat adat Dayak Ngaju di eks PLG Kalimantan Tengah meliputi 3 Kabupaten (Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan) untuk mengembalikan dan mengakui hak-hak atas tanah adat/ hak ulayat kiri kanan sungai ()besar dan kecil) sejauh 5 kilometer sebagaimana telah disepakati bersama sejak jaman Penjajahan belanda dan oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1998, ketika pemerintah menyatakan proyek PLG Gagal.

2. Segera Bapak Gubernur Agustin Teras Narang SH, mencabut semua ijin-ijin 23 unit perusahaan perkebunan kelapa sawit dan 13 unit ijin pertambangan yang berada di eks wilayah PLG dan berada diatas tanah adat/ hak ulayat masyarakat adat Dayak Ngaju. Ijin Operasional perkebunan kelapa sawit di eks PLG, saat ini sangat meresahkan dan mencekam ditingkat penduduk pedesaan sebagaimana laporan kasus-kasus yang masuk kepada YPD dan ARPAG.

3. Gubenur segera memberikan perintah kepada aparatur dan segenap jajaran keamanan untuk tidak melakukan inimidasi (menakut-nakuti, ancaman) kepada masyarakat adat dayak Ngaju yang menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, baik kepada aparat yang di sewa maupun aparat yang ditugaskan berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing. Dan segera menertibkan upaya organisasi masa lainnya yang telah menjadi alat para pengusaha untuk melakukan inimidasi.

4. Bapak Gubernur Kalimantan Tengah, harus bertanggungjawab atas terjadinya konflik horizontal antar masyarakat di beberap tempat, misalnya di Desa Kaladan, Sei Ahas, Basarang, Mentangai, dan Sei Jaya antara yang pro dan kontra, karena membiarkan ijin-ijin perusahaan ini bekerja di eks PLG.

5. Bapak Gubernur Agustin Teras Narang, segera merespon secara khusus tentang turunnya situasi harga-harga komoditas hasil petani khususnya eks PLG, umumnya di Kalimantan Tengah. Agar para petani karet, rotan mendapat perlindungan dari Pemerintah Daerah.

6. Gubernur Kalimantan Tengah Bapak Agustin Teras Narang, SH, segera menertibkan para mafia tanah yang berada di tingkat aparat pemerintah, aparat desa, kecamatan, organisasi masa dan para lembaga pemerintah lainnya dalam melancarkan operasi perusahaan perkebunan kelapa sawit sekala besar.

Semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak atas sumber-sumber alam sebagai asset produksi berkualitas dan sehat.Semua orang berhak memperoleh kehidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, agama dan status sosial, yang tetap dijamin hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sama dan anti kekerasan yang dilakukan Negara baik fisik dan non fisik.

Demikianlah surat ini kami sampaikan kepada Gubernur Kalimantan Tengah Bapak Agustin Teras Narang, SH, dan ditembuskan kepada Bapak Presiden Bambang Soesilo Yudhoyono, DPR RI, BPN, Menteri Kehutanan dan Perkebunan serta Bupati dan DPRD di 3 Kabupaten eks PLG Kalimantan Tengah agar mendapat perhatian dan segera melakukan tindakan nyata, bukan janji-janji. Sekian terima kasih.

Hormat kami,


M U L I A D I.
Direktur Esekutif YPD

SE EWALDIANSON
Dewan ARPAG Kalteng
Tembusan disampaikan kepada Yth;
1. Bapak Presiden Bambang Soesilo Yudhoyono
2. Ketua DPR RI di Jakarta
3. DPD Pemilihan Kalimantan Tengah di Jakarta
4. Menteri Kabinet Indonesia Bersatu di Jakarta
5. Ketua BPN di Jakarta
6. KOMNAS HAM di Jakarta
7. Sekretariat Walhi Nasional di Jakarta
8. Sawit Watch di Jakarta
9. Sarekat Hijau Indonesia
10. CSF Nasional
11. Pokja Sawit Multipihak di Palangkaraya
12. Ketua DPRD Kalimantan Tengah di Palangkaraya
13. Bupati dan Ketua DPRD Barito Selatan di Buntok
14. Bupati dan Ketua DPRD Kapuas di Kuala Kapuas
15. Bupati dan Ketua DPRD Pulang Pisau di Pulang Pisau
16. Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Kalteng di Palangkaraya
17. LSM-LSM di Kalimantan Tengah
18. Walhi Kalimantan Tengah di Palangkaraya
19. LMDDKT Kalimantan Tengah di Palangkaraya
20. Damang Kepala Adat Barito Selatan dan Kapuas.
21. ----arsip....................

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)